Sejarah dan Makna Filosofi Hari Raya Nyepi

Sejarah dan Makna Filosofi Hari Raya Nyepi
Jika kita mendengar kata 'hari raya', maka yang terbesit adalah kegembiraan dan kemeriahan. Namun ternyata itu tidak didapati saat menyaksikan Hari Raya Nyepi. Umat Hindu punya cara yang berbeda saat menyambut hari rayanya. Mereka menyepi selama 24 jam yang di dalamnya ada rangkaian upacaya tersendiri, baik sebelum ataupun sesudahnya, seperti upacaya melasti atau makiyis, tawur agung kesanga, nyepi, ngembak geni, dan dharma santi.

Hari Raya Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun Baru Saka. Hari ini jatuh pada hitungan pinanggal apisan Sasih Kadasa, atau tanggal pertama atau kesatu bulan ke sepuluh dalam Kalender Hindu. Pada tahun 2018 sendiri tepatnya jatuh pada tanggal 18 Maret 2018.

Di pulau Bali, dimana terdapat mayoritas umat Hindu, siaran televisi termasuk yang berbayar otomatis dimatikan pada malam Nyepi. Karena tidak boleh ada cahaya, maka di dalam rumah pun tidak ada yang boleh menyalakan lampu ataupun lilin. Pengecualian berlaku untuk keluarga yang memiliki bayi, tapi itu pun hanya lampu yang redup dan harus atas seizin Banjar atau tetua adat setempat.

Tidak ada pengecualian. Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai pun tidak melayani penerbangan sama sekali selama Nyepi. Hanya beberapa rumah sakit yang masih melayani, karena harus tetap siap sedia dengan kemungkinan-kemungkinan darurat.

Lalu apa yang dilakukan oleh mereka yang tidak merayakan tahun baru Saka di tengah ritual Nyepi?


Biasanya, mudik adalah salah satu opsi yang dilakukan kebanyakan non-Hindu di Bali. Atau, jika mudik tidak memungkinkan, banyak hotel yang menawarkan 'paket Nyepi'. Salah satu yang ditawarkan adalah mengikuti kegiatan membatik atau membuat cenderamata. Ini diadakan agar tamu tidak merasa bosan sementara mereka tidak diperbolehkan untuk keluar dari area hotel.

Menjelang Nyepi, masyarakat yang tidak ikut merayakan Tahun Baru Saka biasanya juga memenuhi pusat-pusat perbelanjaan. Hal ini dikarenakan banyak yang berinisiatif untuk menyimpan bahan makanan dan minuman di rumah selama masa Nyepi.

Di malam Nyepi, akan ada banyak Pecalang (pelaku adat) yang berkeliling melakukan patroli hingga ke setiap pojok daerah di Bali. Tugas mereka adalah menegur jika menemukan masih ada yang menyalakan lampu atau seseorang yang masih berada di luar rumah saat Nyepi berlangsung.

Ada satu yang menakjubkan saat Nyepi. Di malam yang gelap tanpa secercahpun cahaya bagai kota mati, cobalah menatap langit. Biasanya, 'Milky Way' atau galaksi spiral akan terlihat sangat jelas karena langit malam juga sangat cerah di malam itu. Ya, seakan turut menyambut tahun yang baru, yang suci dan bersih.

Sejarah Hari Raya Nyepi


Kita semua tahu bahwa Agama Hindu berasal dari India. Sebelum Masehi kondisi di India sering diwarnai dengan pertikaian yang panjang antara suku bangsa yang memperebutkan kekuasaan sehingga penguasa (Raja) yang menguasai India silih berganti dari berbagai suku, yaitu: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa, dan Saka. Di antara suku-suku itu yang paling tinggi tingkat kebudayaanya adalah suku Saka. Ketika suku Yuehchi di bawah Raja Kaniska berhasil mempersatukan India maka secara resmi kerajaan menggunakan sistem kalender suku Saka. Keputusan penting ini terjadi pada tahun 78 Masehi.

Sejak itu sistem kalender Saka digunakan terus menerus hingga saat ini yang disebut Tahun Saka. Itulah sebabnya sistem kalender Hindu “seolah-olah terlambat” 78 tahun dari kalender Masehi. Pada tahun 456 M (atau Tahun 378 Saka), datanglah ke Indonesia seorang Pendeta penyebar Agama Hindu yang bernama Aji Saka asal dari Gujarat, India. Beliau mendarat di pantai Rembang (Jawa Tengah) dan mengembangkan Agama Hindu di Jawa.

Ketika Majapahit berkuasa, (abad ke-13 M) sistem kalender Tahun Saka dicantumkan dalam Kitab Nagara Kartagama. Masuknya Agama Hindu ke Bali kemudian disusul oleh penaklukan Bali oleh Majapahit pada abad ke-14 dengan sendirinya membakukan sistem Tahun Saka di Bali hingga sekarang. Perpaduan budaya (akulturasi) Hindu India dengan kearifan lokal budaya Hindu di Indonesia (Bali khususnya) dalam perayaan Tahun Baru Caka inilah yang menjadi pelaksanaan Hari Raya Nyepi unik seperti saat ini.

Makna Filosofis di Balik Hari Raya Nyepi


Saat menjalani Nyepi, umat Hindu memiliki empat pantangan yang tidak boleh dilanggar. Biasa disebut dengan Catur (Brata) Penyepian.

1. Tidak boleh menyalakan api (amati Geni)

Api adalah simbol hawa nafsu. Pada hari Nyepi, umat Hindu berkontemplasi tanpa menyalakan api atau adanya cahaya untuk mengendalikan hawa nafsu yang disimbolkan dengan api.

2. Tidak bekerja (amati Karya)

Umat Hindu kembali melakukan evaluasi dalam suasana hening tentang apa yang sudah dikerjakan, apakah sudah sesuai dengan kemampuan dan perhitungan yang matang.

Manusia pada dasarnya perlu istirahat dan tidak bekerja secara berlebihan. Melalui amati Karya ini, manusia dapat melihat ke dalam untuk memutuskan apa yang harus dikerjakan di masa yang akan datang sesuai kemampuan dan perhitungan yang tepat.

3. Tidak bersenang-senang (amati Lelanguan)

Pada hari Nyepi, manusia tidak mencari kesenangan atau hiburan yang bersifat duniawi. Manusia mengendalikan diri dengan memberikan hiburan batin. Nafsu untuk berfoya-foya atau dikendalikan kesenangan duniawi.

4. Tidak bepergian (amati Lelungan)

Tubuh perlu diistirahatkan. Sambil melihat selama tahun yang lewat sudah sukses atau tidak. Apakah sesuai harapan atau tidak sehingga bisa memperbaiki diri di tahun yang baru.

Demikian sejarah dan makna filosifi di balik Hari Raya Nyepi yang biasa dilakukan oleh orang-orang Hindu, khususnya di Bali.
KOMENTAR PEMBACA